16 May 2015

Masalah Perkembangan FLOSS di Indonesia

Saya mulai pakai FLOSS dan masuk ke aktivitas FLOSS sekitar tahun 2007. Sejak saat itu sampai sekarang (tahun 2015), masih saja terdengar kalimat dan pertanyaan seperti berikut:
  • FLOSS sulit dipakai.
  • FLOSS tidak aman.
  • Kualitas FLOSS buruk.
  • FLOSS tidak dapat menjadi penghasilan.
  • Produksi bisnis tidak bisa kalau tidak pakai perangkat lunak proprietary.

Hal-hal di atas merupakan pendapat yang mungkin muncul dari fakta yang dialami oleh masing-masing individu.

Teorinya, dengan FLOSS republik ini seharusnya mampu:
  • Mengadopsi teknologi dan menerapkan untuk kebutuhan spesifik apapun.
  • Membuat produk-produk TIK ciptaan sendiri.
  • Menjalankan bisnis dengan lancar tanpa perangkat lunak proprietary.
  • Membuka lapangan kerja semakin besar.
  • Meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam menciptakan produk-produk TIK.

Fakta dan teori di atas tidak berjalan satu arah padahal sudah ada komponen-komponen organisasi seperti ini:
  • Pemerintah dengan segala macam kementeriannya.
  • Komunitas pengembangan FLOSS: BlankOn, IGN, SLiMS, PlaySMS, dll.
  • Aktivis advokasi: AOSI, KPLI, YPLI, Komunitas distribusi GNU/Linux/FreeBSD, Komunitas FLOSS, dll.
  • Perusahaan besar pengguna FLOSS dengan penghasilan milyaran/triliyunan per tahun.
  • Sekolah-sekolah dan kampus perguruan tinggi.

Jadi, di mana masalahnya?

Masalahnya menurut saya pribadi ada pada kita masing-masing manusia Indonesia. Kita bersifat:
  • Egois, padahal kita diajarkan sejak SD sebagai mahluk sosial (sekalipun sekarang didukung dengan alat "media sosial").
  • Merasa tidak perlu bersatu. Merasa semua ini murni hanya kompetisi bisnis, kompetisi kemampuan, kompetisi paling popular.
  • Malas bekerja dengan seribu satu alasan/motivasi.
  • Tidak "elegan" saat berbicara sekalipun menggunakan Bahasa Indonesia.
  • Pengecut untuk meminta maaf dan memaafkan.

Padahal kalau semua masalah di atas diperbaiki dan semuanya berjalan cukup baik yang merasakan manfaat bukan hanya masing-masing individu kita tapi seluruh masyarakat Indonesia termasuk nenek tua di ujung Papua yang belum pernah kita datangi sekalipun.